Thursday, December 18, 2014

Mengkritisi UU 23 Tahun 2014 dalam Penerapan Pembinaan dan Pengawasan Pemda


Mengkritisi UU 23/2014 dalam Penerapan Pembinaan dan Pengawasan Pemda
(Analisa Kinerja Sebuah Daerah Otonom Berdasarkan Pelaksanaan APBD)

Pelaksanaan APBD DKI Jakarta tahun 2014 adalah kinerja yang paling terburuk dalam catatan perjalanan tata kelola pemerintahan Provinsi DKI Jakarta. Bukan hanya dalam sejarah pemerintahan provinsi DKI Jakarta tetapi juga terburuk dalam realisasi APBD seluruh pemerintahan daerah di Indonesia. Penilaian ini berdasar pada penyerapan dan pendapatan APBD yang terealisasi sampai pada awal bulan desember. Penyerapan anggaran masih berada pada posisi 36,07 %. Sementara dalam hitungan minggu, pelaksanaan anggaran akan memasuki masa tutup buku. Apakah sisa waktu yang ada tersebut dapat menyerap 63,93 % sisa anggaran yang tersisa? Hal yang sangat tidak masuk akal!

Rendahnya penyerapan anggaran dan kinerja Pemprov DKI Jakarta sebenarnya sudah terjadi pada tahun sebelumnya, Tahun Anggaran 2013. Sampai akhir November 2013, penyerapan anggaran berada pada posisi 55,2 %. Namun pada laporan akhir tahunan (LKPD) DKI Tahun 2013, realisasi penyerapan anggaran mencapai 82,23 % atau senilai 38,30 T dari 46,57 T. Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI, dalam pengelolaan APBD tersebut terdapat banyak permasalahan dan temuan ketidakwajaran. Dari realisasi belanja 38,30 T, terdapat 86 temuan yang nilainya mencapai 1,54 T. Temuan tersebut adalah: indikasi kerugian 85,36 M, potensi kerugian 1,33 T, kekurangan penerimaan 95,01 M dan 3E 23,13 M.

Berdasarkan penilaian dan pemeriksaan realisasi APBD Tahun 2013 dan akhir tahun 2014 (penilaian sementara), dapat disimpulkan bahwa: Pemprov DKI Jakarta memiliki kinerja rendah yang merupakan kejadian yang berulang pada tahun 2014.

Tentang realisasi APBD, rendahnya realisasi ataupun rendahnya kinerja dapat disebabkan beberapa faktor. Beberapa faktor yang sangat penting adalah, antara lain: 
  1. Perencanaan yang tidak akurat dari pemerintahan daerah dalam perencanaan pembangunan. 
  2. Lemahnya pembinaan, pengendalian dan pengawasan oleh Gubernur sebagai Kepala Daerah dan Kepala Pemerintahan, sesuai dengan tugas dan tanggungjawab melaksanakan urusan pemerintahan. 
  3. Kepemimpinan dan karakter Gubernur (Kepala Daerah) yang tidak mampu mendorong atau memotivasi perangkat dan aparatur daerah sebagai pelaksana pembangunan. 
  4. Ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan. 
  5. Kelemahan perangkat dan aparatur dalam menterjemahkan instruksi yang diberikan pemimpin daerah dalam melaksanakan program yang sudah ditetapkan.

Sementara itu, akibat rendahnya kinerja dan rendahnya realisasi APBD, dapat berdampak kepada beberapa hal. Dampak-dampak yang dimaksud diantaranya adalah:
  1. Tidak tercapainya pelaksanaan tugas urusan pemerintahan yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengurusi daerahnya sesuai dengan asas otonomi (yang menjadi kewenangan daerah) seperti yang tertuang dalam pasal 9 ayat 4 UU No 23 Tahun 2014.
  2. Kerugian bagi masyarakat karena tidak menikmati hak-hak secara maksimal atas peningkatan pelayanan peningkatan kesejahteraan, kesehatan, pendidikan dan hak-hak lainnya sesuai dengan yang diserahkan oleh pemerintah pusat dalam tugas urusan pemerintahan kepada Pemerintah Prov. DKI Jakarta (Pasal 12 UU No. 23 Tahun 2014).
  3. Pelaksanaan pembangunan daerah sebagai wujud pelaksanaan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah, tidak terlaksana  secara baik dan tidak tercapai maksimal.
  4. Rendahnya penyerapan anggaran juga dapat berdampak kepada peredaran/ perputaran uang di masyarakat yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan daya beli dan tingkat kenaikan inflasi yang makin tinggi.
Pada sisi yang lain, beberapa tanggapan dan pernyataan dari Gubernur tentang kinerja buruk tersebut sering ditanggapi dengan argumentasi yang tidak logis dan terkesan “ngawur”. Secara teori dan mekanisme tata kelola pemerintahan, argumentasi-argumentasi tersebut tidak tepat. Ambil beberapa contoh, sangat disayangkan dalam berbagai kutipan yang dilansir oleh media-media, Ahok sebagai Gubernur (Kepala Daerah) sering melemparkan pernyataan yang sifatnya merugikan. Selain pernyataannya yang merugikan, dari segi tindakan pun mencerminkan seorang pemimpin yang tidak mengayomi.

Beberapa pernyataan yang dimaksud diantaranya adalah seperti yang berikut ini: 
  1. Ketika ditanya wartawan tentang kinerja yang buruk, Ahok menjawab demikian: “saya baru menjabat tanyakan kepada Jokowi yang jadi gubernur sebelumnya”. Argumentasi seperti ini menandakan pemimpin yang berkarakter buang badan” atau melempar tanggung jawab. 
  2. Membuat prasangka buruk terhadap aparaturnya; “lebih baik tidak terserap daripada dikorupsi anggota saya”. Inipun menandakan kelemahannya dalam melaksanakan fungsi dalam pembinaan, pengawasan dan pengendalian terhadap aparaturnya.
  3. Terkesan menyepelekan perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pengawasan dan evaluasi program pembangunan yang salah satunya adalah APBD. APBD merupakan sebuah perda yang diputuskan dan disahkan bersama DPRD. Argumen yang dimaksud seperti kutipan berikut: “itukan program siluman” atau “biarkan saja menjadi tabungan”
Fakta-fakta tentang pernyataan-pernyataan di atas dapat mengindikasikan atau menandakan karakter kepemimpinan Ahok sebagai kepala daerah dan kepala pemerintahan sangat lemah, emosional dan tidak memahami tugas kepala daerah dengan benar. Karena itu, patut diragukan kepemimpinan Ahok dalam membina, mengawasi perangkat daerah dan mengendalikan perjalanan sistem pemerintahan di daerah yang dipimpinnya.

Mengacu kepada hal-hal tersebut di atas, apabila kita kaitkan dengan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah, maka ada beberapa hal yang harus disikapi dan ditindak lanjuti oleh Pemerintah Pusat. Sesuai dengan yang tercantum dalam UU Pemda tentang fungsi dan wewenang Pemerintah Pusat serta tugas dan wewenang Kepala Daerah, maka semestinya ada tindakan yang diberikan kepada Gubernur dan Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta. Pemerintah Pusat sudah sepantasnya melakukan dan memberikan pembinaan kepada Ahok dan Pemerintah Daerah.  Wujud pembinaan yang dimaksud tersebut adalah menjatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan peraturan yang berlaku.

Alasan dari penerapan sanksi tersebut adalah menerapkan UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah dengan tegas dan tanpa pengecualian. Dasar dari pemberian sanksi tersebut adalah Kemerosotan kinerja Pemerintah DKI Jakarta tahun 2014, yang saat ini dikepalai oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai Gubernur dan Kepala Daerah serta status APBD DKI yang berada dalam status keadaan luar biasa (bandingkan dengan pasal 316 ayat 3 UU 23/2014).

Dasar dari pemberian sanksi adalah bentuk kewenangan dan tugas dari pemerintah pusat melakukan pembinaan kepada pemerintah daerah (bandingkan dengan UU 23/2014 Pasal 7, 70 dan 382). Sedangkan bentuk dan mekanisme pemberian sanksi dapat mengacu kepada UU 23/2014 dan Peraturan Pemerintah No 79 Tahun 2005. Sanksi dapat berupa administrasi, pembatalan pengangkatan pejabat, pembatalan kebijakan dan finansial bahkan pengambil alihan pelaksanaan tugas yang dilaksanakan oleh Kementerian atau Lembaga yang berwenang.

Berdasarkan hal tersebut, maka sudah sepantasnya Pemerintah Pusat mengambil tindakan demi menegakkan dan menerapkan UU 23 Tahun 2014 yang baru saja ditetapkan untuk mengganti UU Pemda yang berlaku sebelumnya.

Search This Blog