Mengkritisi UU 23/2014 dalam Penerapan Pembinaan
dan Pengawasan Pemda
(Analisa Kinerja Sebuah Daerah Otonom Berdasarkan Pelaksanaan APBD)
Pelaksanaan APBD DKI Jakarta tahun
2014 adalah kinerja yang paling terburuk dalam catatan perjalanan tata kelola
pemerintahan Provinsi DKI Jakarta. Bukan hanya dalam sejarah pemerintahan
provinsi DKI Jakarta tetapi juga terburuk dalam realisasi APBD seluruh
pemerintahan daerah di Indonesia. Penilaian ini berdasar pada penyerapan dan
pendapatan APBD yang terealisasi sampai pada awal bulan desember. Penyerapan
anggaran masih berada
pada posisi 36,07 %. Sementara dalam
hitungan minggu, pelaksanaan anggaran akan memasuki masa tutup buku. Apakah
sisa waktu yang ada tersebut dapat menyerap 63,93 % sisa anggaran yang tersisa?
Hal yang sangat tidak masuk akal!
Rendahnya penyerapan anggaran dan
kinerja Pemprov DKI Jakarta sebenarnya sudah terjadi pada tahun sebelumnya, Tahun Anggaran 2013.
Sampai akhir November 2013, penyerapan anggaran berada pada posisi 55,2 %.
Namun pada laporan akhir tahunan (LKPD) DKI Tahun 2013, realisasi penyerapan
anggaran mencapai 82,23 % atau senilai 38,30 T dari 46,57 T. Berdasarkan Laporan
Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI, dalam pengelolaan APBD tersebut terdapat banyak permasalahan
dan temuan ketidakwajaran. Dari realisasi belanja 38,30 T, terdapat 86 temuan yang
nilainya mencapai 1,54 T. Temuan tersebut adalah: indikasi kerugian 85,36 M,
potensi kerugian 1,33 T, kekurangan penerimaan 95,01 M dan 3E 23,13 M.
Berdasarkan penilaian dan pemeriksaan realisasi APBD Tahun 2013 dan akhir tahun 2014 (penilaian sementara),
dapat disimpulkan bahwa: Pemprov DKI Jakarta
memiliki kinerja rendah yang merupakan
kejadian yang berulang pada tahun
2014.
Tentang realisasi
APBD, rendahnya realisasi ataupun rendahnya kinerja
dapat disebabkan beberapa faktor.
Beberapa faktor yang sangat penting adalah, antara lain:
- Perencanaan yang tidak akurat dari pemerintahan daerah dalam perencanaan pembangunan.
- Lemahnya pembinaan, pengendalian dan pengawasan oleh Gubernur sebagai Kepala Daerah dan Kepala Pemerintahan, sesuai dengan tugas dan tanggungjawab melaksanakan urusan pemerintahan.
- Kepemimpinan dan karakter Gubernur (Kepala Daerah) yang tidak mampu mendorong atau memotivasi perangkat dan aparatur daerah sebagai pelaksana pembangunan.
- Ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan.
- Kelemahan perangkat dan aparatur dalam menterjemahkan instruksi yang diberikan pemimpin daerah dalam melaksanakan program yang sudah ditetapkan.
Sementara itu,
akibat rendahnya kinerja dan rendahnya realisasi APBD, dapat berdampak kepada beberapa hal. Dampak-dampak yang
dimaksud diantaranya adalah:
- Tidak tercapainya pelaksanaan tugas urusan pemerintahan yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengurusi daerahnya sesuai dengan asas otonomi (yang menjadi kewenangan daerah) seperti yang tertuang dalam pasal 9 ayat 4 UU No 23 Tahun 2014.
- Kerugian bagi masyarakat karena tidak menikmati hak-hak secara maksimal atas peningkatan pelayanan peningkatan kesejahteraan, kesehatan, pendidikan dan hak-hak lainnya sesuai dengan yang diserahkan oleh pemerintah pusat dalam tugas urusan pemerintahan kepada Pemerintah Prov. DKI Jakarta (Pasal 12 UU No. 23 Tahun 2014).
- Pelaksanaan pembangunan daerah sebagai wujud pelaksanaan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah, tidak terlaksana secara baik dan tidak tercapai maksimal.
- Rendahnya penyerapan anggaran juga dapat berdampak kepada peredaran/ perputaran uang di masyarakat yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan daya beli dan tingkat kenaikan inflasi yang makin tinggi.
Pada sisi yang
lain, beberapa tanggapan dan pernyataan dari Gubernur tentang kinerja buruk
tersebut sering ditanggapi dengan argumentasi yang tidak logis dan terkesan
“ngawur”. Secara teori dan mekanisme tata kelola pemerintahan,
argumentasi-argumentasi tersebut tidak tepat. Ambil beberapa contoh, sangat
disayangkan dalam berbagai kutipan yang dilansir oleh media-media, Ahok sebagai
Gubernur (Kepala Daerah) sering melemparkan pernyataan yang sifatnya merugikan. Selain pernyataannya yang merugikan, dari segi tindakan
pun mencerminkan seorang pemimpin yang tidak mengayomi.
Beberapa pernyataan
yang dimaksud diantaranya adalah seperti yang berikut ini:
- Ketika ditanya wartawan tentang kinerja yang buruk, Ahok menjawab demikian: “saya baru menjabat tanyakan kepada Jokowi yang jadi gubernur sebelumnya”. Argumentasi seperti ini menandakan pemimpin yang berkarakter “buang badan” atau melempar tanggung jawab.
- Membuat prasangka buruk terhadap aparaturnya; “lebih baik tidak terserap daripada dikorupsi anggota saya”. Inipun menandakan kelemahannya dalam melaksanakan fungsi dalam pembinaan, pengawasan dan pengendalian terhadap aparaturnya.
- Terkesan menyepelekan perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pengawasan dan evaluasi program pembangunan yang salah satunya adalah APBD. APBD merupakan sebuah perda yang diputuskan dan disahkan bersama DPRD. Argumen yang dimaksud seperti kutipan berikut: “itukan program siluman” atau “biarkan saja menjadi tabungan”
Fakta-fakta tentang
pernyataan-pernyataan di atas dapat mengindikasikan atau menandakan
karakter kepemimpinan Ahok sebagai kepala daerah dan kepala pemerintahan sangat lemah,
emosional dan tidak memahami tugas kepala daerah dengan benar. Karena itu, patut diragukan kepemimpinan
Ahok dalam membina,
mengawasi perangkat daerah dan
mengendalikan perjalanan sistem pemerintahan di daerah yang dipimpinnya.
Mengacu kepada
hal-hal tersebut di atas, apabila kita kaitkan dengan Peraturan
Perundang-undangan yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah, maka ada beberapa
hal yang harus disikapi dan ditindak lanjuti oleh Pemerintah Pusat. Sesuai
dengan yang tercantum dalam UU Pemda tentang fungsi dan wewenang Pemerintah Pusat serta tugas
dan wewenang Kepala Daerah, maka
semestinya ada tindakan yang diberikan kepada Gubernur dan Pemerintah Daerah
Provinsi DKI Jakarta. Pemerintah Pusat sudah sepantasnya melakukan dan
memberikan pembinaan kepada Ahok dan Pemerintah Daerah. Wujud
pembinaan yang dimaksud tersebut
adalah menjatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan
dan peraturan yang berlaku.
Alasan dari penerapan sanksi tersebut adalah menerapkan UU 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan daerah dengan tegas dan tanpa pengecualian. Dasar dari pemberian sanksi tersebut adalah Kemerosotan
kinerja Pemerintah DKI Jakarta tahun 2014, yang saat ini dikepalai oleh Basuki
Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai Gubernur dan Kepala Daerah serta status APBD DKI yang berada dalam status keadaan
luar biasa (bandingkan dengan pasal 316 ayat 3 UU 23/2014).
Dasar dari pemberian sanksi adalah bentuk kewenangan dan
tugas dari pemerintah pusat melakukan pembinaan kepada pemerintah daerah
(bandingkan dengan UU 23/2014 Pasal 7, 70 dan 382). Sedangkan bentuk dan
mekanisme pemberian sanksi dapat mengacu kepada UU 23/2014 dan Peraturan
Pemerintah No 79 Tahun 2005. Sanksi dapat berupa
administrasi, pembatalan pengangkatan pejabat, pembatalan kebijakan dan
finansial bahkan pengambil alihan
pelaksanaan tugas yang dilaksanakan oleh Kementerian atau Lembaga yang
berwenang.
Berdasarkan hal tersebut, maka sudah sepantasnya
Pemerintah Pusat mengambil tindakan demi menegakkan dan menerapkan UU 23 Tahun
2014 yang baru saja ditetapkan untuk mengganti UU Pemda yang berlaku
sebelumnya.
Lihat juga tulisan ini di:
http://jakartabagus.rmol.co/read/2014/12/15/183483/KP3I-Jakarta-Mendesak-Pemerintah-Pusat-Menjatuhkan-Sanksi-Atas-Ahok-
http://jakartabagus.rmol.co/read/2014/12/15/183483/KP3I-Jakarta-Mendesak-Pemerintah-Pusat-Menjatuhkan-Sanksi-Atas-Ahok-
http://jakartabagus.rmol.co/read/2014/12/15/183480/Berikut-Penyebab-dan-Dampak-Kinerja-Rendah-Pemprov-DKI-Jakarta-
http://www.matahaticorp.com/kinerja-buruk-pemprov-dki-terulang-pada-2014/
http://www.matahaticorp.com/kinerja-buruk-pemprov-dki-terulang-pada-2014/